Search This Blog

27/03/2014

Kisah Pilu Sang Pattimura

Selamat pagi sob, sesuai janji ane kemarin, yaitu untuk melanjutkan artike ane yang kemarin Klik DISINI sob, untuk membaca dari awal.

Baiklah sob, langsung aja ya.

Kisah Pilu Sang Pattimura Part II

Setelah kepergiannya Agustus 1998, hampir setiap minggu Patti menelpon atau mengirim surat pada kami. Ia bercerita tentang keluarga Om Saleh Marabessy dan suasana di Jalan Baru, tempat tinggalnya kini. Ia bercerita tentang universitasnya, teman-teman barunya, kegiatannya di Masjid Al-Fattah. Ia mengirimkan beberapa fotonya yang diambil di depan masjid hijau tersebut, di Pantai Hunimoa, Taman Laut dan Museum Siwa Lima. Ada juga fotonya di depan baileo sambil memakai pakaian adat, berupa setelan jas berwarna merah hitam, baju dalam yang berenda ikat pinggang. Ah, orang Jawa yang aneh, pikirku, saat Ibu memperlihatkan foto tersebut dengan mata berkaca-kaca.

Sungguh sedikitpun tak tampak perasaan sedih pada surat atau foto-foto itu. Hanya suara Patti di telepon yang selalu terdengar bergetar. Pernah aku yang mengangkat telepon dari Patti dan kutahu ia masih menyimpan sedih yang sama seperti saat ia berangkat.

"Kau harus pulang lebaran ini, Nak!" kata Bapak padanxa di telepon, sebelum lebaran.

"Iya, Pak..".tetapi saya tidak mendapatkan tiket pesawat dan kapal. Sayag hanya mendapatkan tiket pada hari Lebaran. Itupun naik kapal dari Pelabuhan Ambon," begitu cerita Patti pada Bapak.

*****

Aku masih ingat. Hari lebaran pertama, kami sampai di rumah malam hari, setelah sebelumnya berkeliling ke tempat saudara dan relasi perusahaan Bapak. Keesokan harinya, melalui berita pagi kami mendengar terjadi kerusuhan di Ambon.

"Bu, lihat Bu! Desa Jalan Baru, Pasar Mahardika, itu semua kan dekat rumah Om Saleh!" teriakku.

"Ya Allah....Patti....." suara Ibu terdengar lirih. Tak lama airmata Ibu sudah menderas.

Bapak memegang dadanya sesaat, bangkit dari tempat duduk dan memutar nomor telepon Om Saleh. "Tidak ada yang mengangkat....," Bapak mulai panik. Kini ia menelepon Om Hasan yang rumahnya di Batu Merah, tak jauh dari rumah Om Saleh.
Tak jua ada yang mengangkat. Dengan tangan gemetar Bapak menelepon beberapa nomor kenalannya di Ambon. Sia-sia. Tetapi Bapak terus menelepon tanpa henti.

Ha....halo? Pak Loko? Ya....apa yang terjadi, Pak? Apa? Ya...., saya ingin menanyakan keluarga Marabessy....Anda tak tahu.?
Ya...., apa? Ya Tuhan, Ya Allah? Halo....Halo...Pak Loko? Anda masih disana.? Halo...."

"Pak Loko, kenalanku dan keluarganya sedang bersiap-siap untuk mengungsi. Ia bilang orang-orang yang sedang shalat Id kemarin telah....ditembak dan dibantai secara biadab. Sampai hari ini masih terjadi pembantaian dan pembakaran. Banyak yang mengungsi.

"Tidaaaaaaaaak!" Ibu berteriak histeris. "Tidaaaaak!"
Bapak memeluk Ibu dengan mata berair dan aku....aku....
Tiba-tiba bayangan Pattimura dengan senyuman khasnya melintas di benakku." Aku akan pergi untuk kebahagiaanmu, Said.
Aku akan pergi....." Suara itu seperti dikirimkan kembali oleh angin dan terus bergema di telingaku.

Dua bulan kemudian, suasana di Ambon semakin memanas. Lewat koran dan televisi kami mengetahui bahwa konflik SARA itu meluas ke daerah Maluku lainnya. Ibu semakin kurus, wajahnya tirus sekali, Konsentrasi Bapak di kantor terganggu dan aku....mencari informasi tambahan kesana kemari.

Suatu hari, setelah hampir berputus asa, kami mendapat telepon dari Ambon! Dari Patti!

"Apa kabar, Bu?"
Patti, Patti anakku...!"
"Saya baik-baik saja, Bu...saya meminjam handphone seorang wartawan televisi. Disini semua serba sulit....tapi saya yakin dengan doa Ibu, jangan berhenti berdo'a....."

"Patti....pulang, Nak...pulang...!"

"Tidak ada kendaraan apa pun, Bu. Kami bahkan harus mengungsi...kami...."
"Patti, suara apa itu, Patti? Gemuruh apa itu? Itu suara bom kan? Suara tembakan?
Ya Allah....."
"Mana Bapak, Bu? Saya ingin bicara....."
"Bapak belum pulang....."
"Said, Bu...Cepat, Bu...."

Ibu menyerahkan telepon di tangannya padaku. Gamang aku menerimanya.
"Said, sampaikan pada Bapak...Om Saleh sekeluarga sudah tewas. Mereka dibakar hidup-hidup di dalam rumah oleh orang-orang biadab itu. Aku dan Om Hasan pindah ke masjid Al-Fattah...."

"Apa? Innalillahi...ya Allah...."

"Hati-hati menyampaikannya pada Bapak dan Ibu, ya..."
"Patti....aku...aku..."

"Said, ada yang menyerang kami! Ada yamg menyerang kami!"

"Patti! Pattiiiii !" teriakku. "Patti, aku menunggumu disini! Kau dengar, Patti! Kembalilah....." Aku mendengar suara letusan dan teriakan sebelum kontak dengan Patti terputus.

Ibu menangis sesenggukan dan tersungkur di sudut ruangan. Dan rasa bersalah berdebam-debam menohok dadaku.

*****

Hari-hariku selain di kampus adalah pergi ke tempat-tempat diskusi, tabligh akbar dan penggalangan dana untuk kaum Muslimin di Ambon. Di tempat itulah aku merasa jiwaku diiris-iris. Ampuni aku, Ya Allah! Bagaimana bisa aku mengabaikan-Mu selama ini? Bagaimana aku bisa tak peduli dengan saudara-saudara yang miskin, yang mengungsi dan yang diperangi di negeri sendiri? Bagaimana bisa aku disini bersenang-senang. Duduk dari satu kafe ke kafe lainnya, mengejar-ngejar cinta Karina, melawan Ibu dan Bapak, mengusir Patti....

"Saudara seiman itu lebih kuat dari saudara sekandung!" suara ustadz pada sebuah tabligh akbar penggalangan dana untuk Ambon, membuatku tak bisa memaafkan perbuatanku mengusir Patti.

Begitulah, setiap ada kesempatan aku mencari kabar tentang Patti.

"Lihat, foto-foto itu..., itu serpihan tubuh."
"Iii, darah membasahi jilbab dan jubah putih perempuan itu...."
"Mayat-mayat gosong dalam reruntuhan masjid...."
"Kasihan nasib mereka yang di pengungsian, ya...., lihat berjejal-jejal seperti itu."
"Juru fotonya hebat....."
"Pasti ia bertaruh nyawa untuk mendapatkan foto-foto itu"

Aku berjalan mengitari papan hitam panjang, tempat foto-foto itu....aku hampir tak sanggup melihatnya secara detil...tetapi aku harus...siapa tahu....siapa tahu ada gambar Pattimura disana....

Sementara itu lima bulan berlalu. Ibu semakin jarang bicara. Kalau pun bicara pasti Patti yang ditanya. Bapak juga begitu. Rumah kami bisu.

"Kita mengaji, Bu...supaya tenang...dan mendapat kekuatan dari Allah...," bisikku suatu malam, pada ibu.

Ibu membelai wajahku "Semakin lama kau semakin mirip dengan Patti...mengajilah, Nak...mengaji...."

Perlahan aku mulai mencoba meneguhkan Bapak dan Ibu. Bagaimanapun keberadaam Patti harus dipasrahkan pada Allah, sebab Allah saja yang mampu melindunginya dari kegilaan para biadab itu.

Kini setahun sudah kami tak mendengar kabar apapun dari Patti. Aku dan teman-teman remaja masjid beberapa kali mengadakan kegiatan solidaritas Maluku. Ah, betapa lambannya aparat dan pemerintah mengatasi kasus ini. Sudah setahun lebih, korban jiwa sudah puluhan ribu orang..., pembakaran dan pembantaian semakin menjalar merambah ke Halmahera, Tobelo, Galela, Haruku....

"Said! Said Perintah!"

Aku urung berwudhu dan menemukan Ridwan terengah-engah berlari menuju ke arahku. Tak jauh dibelakangnya kulihat dua orang pemuda berkulit gelap dan memakai songkok putih mengikutinya.

"Ada apa, Wan?"
"Mereka dari Ambon. Mereka mencarimu."
Aku terbelalak. Patti....!

Dua pemuda itu mengucapkan salam dan memelukku. Aku menarik mereka ke dalam mushala kampus.

"Apakah ini tentang Pattimura?"

Dua pemuda sebayaku mengangguk. Ada air mengambang di pelupuk mata mereka. Tanpa berkata-kata salah seorang mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Beberapa helai foto.

Tanganku gemetar meraih foto itu. Lalu aku seperti dihempaskan dalam jurang keyataan yang dalam.

Patti terbaring dalam balutan baju putih yang merah oleh darahnya. Wajahnya nyaris tak bisa dikenali. Kepalanya pecah dan....sebagian isi kepalanya tampak dalam foto itu. Hanya senyumnya....senyum itu yang bisa kukenali.

"Ia wafat saat melindungi para wanita dan anak-anak."

Air mata jatuh menetes di atas potret itu. Tubuhku bergetar hebat.

Selamat jalan, Patti. Bagiku kau tak pernah pergi. Bagi kami kau tak pernah mati. Tak pernah mati, Pattimura....!!!

Sekian dulu sob, maafkan saya jika terdapat kata-kata yang salah...oh ya kisah ini juga mengundang air mata loh kalo dibaca dari awal hingga akhir

Wassalam

No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar sesuai topik, dan tolong jangan SPAM!!!!